Anti 'Alaya Ka-zhahri Ummi! #2 (Zhihar Menurut Islam)
Silakan baca terlebih dahulu tulisan bagian pertama: Anti 'Alaya Ka-zhahri Ummi! #1 (Zhihar Menurut Islam)
Turunnya QS
Al-Mujadalah: 1-4 terjadi setelah Khaulah terus mendesak Rasulullah. Dia benar-benar
ingin mendapatkan kepastian dari nasibnya yang menjadi tidak jelas atas zhihar
suami yang sangat menyakitkan hatinya itu. Bayangkan, sudah sekian lama Khaulah
mencoba bersikap baik sebagai seorang istri, sementara ‘Aus adalah seorang
suami yang jauh dari ideal, sudah miskin, kasar, pemarah pula. Simak kembali
bagaimana Khaulah bertutur sesuai riwayat Ibnu Abi Hatim, ‘Ya Rasulallah,
dia telah memakan hartaku dan menghabiskan masa mudaku serta perutku telah
banyak melahirkan anaknya, sehingga ketika aku sudah tua dan tidak dapat
melahirkan anak lagi, dia malah menzhiharku.'
Suatu ketika,
Rasulullah SAW pingsan, tidak sadarkan diri. Setelah sadar, Rasulullah tampak
sangat bergembira. Lalu beliau berkata kepada Khaulah dalam sebuah hadist yang
dituturkan oleh Khaulah, dan diriwayatkan oleh Abu Dawud.
“Hai Khaulah,
sesungguhnya Allah telah menurunkan ayat mengenai kamu dan suamimu (kemudian
beliau membacakan ayat itu, surat Al-Mujadalah ayat 1-4).” Kemudian Rasulullah
SAW bersabda, “Perintahkan kepadanya untuk memerdekakan seorang budak.”
Kataku
(Khaulah), “Ya Rasulullah, dia tidak mempunyai apa-apa untuk memerdekakan hamba
sahaya.”
Kata
Rasulullah SAW lagi, “Kalau begitu, suruhlah dia untuk berpuasa dua bulan
berturut-turut.”
Kataku, “Demi
Allah, dia adalah orang yang sudah sangat tua. Dia tidak akan mampu berpuasa
sebanyak itu.”
Kata
Rasulullah SAW, “Kalau begitu, suruhlah dia untuk memberikan makan enam puluh orang
miskin dengan satu wasak tamar (kurma).”
Kataku, “Ya
Rasulullah, dia tidak memiliki apa-apa untuk diberikan.”
Rasulullah
SAW kemudian mengatakan, “Kalau begitu, kami akan menolongnya dengan
sekeranjang kurma.”
Maka aku
mengatakan, “Ya Rasulullah, aku yang akan membantunya satu faraq tamar lagi.”
Rasulullah
lalu berkata, “Sungguh kamu telah berbuat benar dan berbuat baik. Pergilah dan
bersedakahlah untuknya. Kemudian nasihatilah putra pamanmu itu dengan kebaikan.”
“Aku akan
melakukannya,” kata Khaulah. (HR Abu Dawud).
Sahabat
Pembaca, sangat menarik ya, membaca percakapan antara Khaulah dan Rasulullah. Apa
hikmah yang bisa diambil dari kisah tersebut?
Pertama,
sikap Khaulah. Meski zhihar tidak lazim terjadi di masyarakat kita, tetapi
hal-hal serupa bisa saja terjadi. Misal suami yang memaki-maki, berbuat kasar dan
memaksa istrinya melayaninya, padahal suami juga jarang melakukan kewajiban
yang semestinya dia lakukan. Jika kita lihat, masyarakat Arab Jahiliyah malah
terlihat “puitis” dengan ucapannya “Anti 'Alaya Ka-zhahri Ummi!” Bandingkan
dengan makian masyarakat kita seperti ba**ngan, bangs**, kepa*** dan
sebagainya.
Nah, mendapat
perlakuan tidak mengenakan dari suaminya, Khaulah memang sedih, tetapi dia baper.
Dia datang kepada orang yang tepat, yaitu Rasulullah SAW. Mengadukan perilaku
suaminya dan berharap ada perbaikan. Khaulah, seburuk-buruknya nasib rumah
tangganya, menginginkan rumah tangga tetap utuh. Dan ternyata bukan Rasulullah
yang menjawab perkaranya, namun justru langsung dari Allah SWT.
Kemudian,
ketika suaminya diminta membayar kifarat, Khaulah ikut membantu dengan satu
faraq tamar pula. Dia sangat tahu betapa miskin suaminya. Satu Faroq adalah setara
dengan 8,244 liter[1]
kurma ikut dia sumbangkan, agar suami mampu membayar kifarat, dan mereka
kembali membangun rumah tangga yang utuh. Tak sekadar menyumbang satu faraq
kurma, Khaulah juga bersedia menasihati suaminya sebagaimana perintah
Rasulullah SAW.
Kedua, sikap
Rasulullah sebagai panutan, yang harus dicontoh para da’i. Seorang da’i sebisa
mungkin harus ikut terlibat secara emosi dalam permasalahan mad’u (objek
dakwahnya). Lihatlah di atas, bagaimana rasulullah merasa sangat gembira ketika
ternyata Allah SWT memberikan jawaban yang meringankan kasus ‘Aus. Tak sekadar
gembira, Rasulullah juga membantu ‘Aus agar mampu membayar kifarat dengan
menyumbangkan sekeranjang kurma.
Ya, seorang
da’i memang harus mau terlibat secara penuh dalam urusan mad’u-nya. Tak
sekadar solusi, rasa empati, bahkan juga kucuran materi. Berat, ya? Hm, sangat!
Saya teringat
dengan nasihat KH Rahmat Abdullah, Sang Murabbi, “Memang seperti itu dakwah.
Dakwah adalah cinta. Dan cinta akan meminta semuanya dari dirimu. Sampai
fikiranmu. Sampai perhatianmu. Berjalan, duduk, dan tidurmu. Bahkan di saat
lelapmu, isi mimpimu pun tentang dakwah. Tentang umat yang kau cintai. Lagi-lagi
memang seperti itu. Dakwah. Menyedot kekuatan pada diri. Hingga tulang
belulangmu, daging terakhir yang menempel di tubuh rentamu. Tubuh yang luluh
diseret-seret. Tubuh yang hancur lebur dipaksa berlari.”
Wallahu a’lam.
Subhanallah..pelajaran yang sangat berharga untuk menjaga keluarga baik secara lisan dan perbuatan kita..dlm rumah tangga........
ReplyDeleteBetul sekali...
DeleteKalau sekarang makiannya serem2 Mbak Yeni. :( Mbak Yeni, request bahas tentang perceraian Mbak. Dari segi perempuan yang sering disakiti dan mendapat perlakuan zalim dari suami, apakah perceraian akan menjadi solusi. Sama itu Mbak, perselingkuhan. Ini udah semacam penyakit ya di masyarakat.
ReplyDeleteInsyaAllah nanti akan saya bahas sedikit demi sedikit...
DeleteTerimakasih atas rekuesnya...
dakwah memang berat ya, apalagi sampai melibatkan empati diri ke problem orang yang datang mengadu
ReplyDeleteKarena itu, pahalanya juga sangat besar...
Delete